Kamis, 23 Mei 2019

Halalkan Aku Untukmu | TIGA | GUNCANGAN


                    GUNCANGAN
Anisa POV
Aku tersenyum saat mengingat kejadian-kejadian selama sebulan ini. Bisma bersikap sangat manis padaku. Aku semakin yakin dengan perasaanku padanya, Aku menyayangi dan mencintainya.
"Kamu masak apa?" Aku terlonjak kaget saat Bisma memelukku yang sedang membuat sarapan.
"Nasi goreng."
"Jawabnya ko' singkat banget.."
"Terus harusnya gimana?"
"Bilang apa gitu, aku kangen misalnya?"
"Aku gak akan kangen kamu."
"Kenapa?"
"Kamu kan selalu ada di samping aku, dan di hati aku,"
Entah bagaimana caranya kalimat itu keluar dari mulutku. "Ciee.. udah bisa gombal ya kamu hahaha.."
"Kan kamu yang ngajarin, hehehe.."
“Aku nggak pernah ngajarin kamu kayaknya.”
'tok..tok..tok'
Bisma melepaskan pelukannya. "Sebentar ya, aku lihat siapa yang datang." Aku mengangguk.
Setelah selesai memasak aku berniat menyusul Bisma yang tak kunjung datang.
DEG! Mataku memanas melihat pemandangan dihadapanku. hatiku serasa diremas. tubuhku mematung tak bisa berbuat apa-apa. air mataku menetes. Ya Allah.. kuatkan hambamu ini..
---o0o---
Aku terduduk lemas di dalam kamar. Aku tak menghiraukan panggilan Bisma yang terus mengetuk pintu kamar kami yang sengaja aku kunci. Aku masih bertahan di depan cermin meja rias dengan keadaan yang bisa dibilang buruk. Mata bengkak, wajah merah dengan air mata yang membanjir.
Setelah tadi aku melihat adegan Bisma yang dipeluk oleh wanita yang tidak aku kenal, aku langsung berlari kedalam kamar lalu menguncinya. Kepalaku menjadi pusing, pengelihatanku kabur dan setelah itu, gelap.
---o0o---
"Lepas! gue bilang lepas ya lepas!" Bisma menghentakkan tangan wanita yang sedari tadi bergelayut pada tangannya.
Wanita itu cemberut menatap Bisma yang menurutnya sudah berubah. "Kamu kenapa sih? kasar banget sama aku. aku tau kamu kangen sama aku dan a-"
"Just in your dream! jangan pernah datang dan ganggu hidup gue lagi!"
"Kenapa? kamu berubah Bis! Apa karena jalang itu huh?!!"
PLAKK
"Jaga mulut lo itu. Anisa itu istri gue. dan lo, lo yang jalang gak tahu diri!" Bisma menutup pintu apartemennya dengan keras. Ia berlari mencari kunci cadangan yang berada di laci ruang tamu.
"Anisaa.."
---o0o---
Bisma POV
Aku menggeram marah. ini semua gara-gara wanita itu. Sashi, wanita masa laluku. Wanita yang dulu sangat aku sayangi, cintai, bahkan kupuja. Semua keinginan dan kebutuhannya selalu kupenuhi. Aku menjadikannya ratu dalam hidupku saat itu.
Orang tuaku tak merestui hubunganku dan Sashi saat itu karena menurut mereka Sashi hanya memanfaatkanku. Tapi bodohnya aku tidak pernah menghiraukan ucapan orang tuaku. Aku mengetahui Sashi berselingkuh dengan om-om tua yang sudah setengah abad pada waktu aku datang ke apartemen yang aku berikan untuknya. Dan saat itulah aku langsung memutuskan hubungan kami lalu melarikan diri ke kota ini.
Aku sangat terpukul saat itu. dan akhirnya aku menuju salah satu club malam di kota ini. Kepalaku sudah sangat berat saat keluar dari club tersebut karena minum terlalu banyak. Singkat cerita, aku pingsan dan ternyata yang menolongku adalah Anisa.
Dan saat itu juga aku tertarik padanya. Tapi tentu saja bukan untuk pelarian karena baru saja dikhianati Sashi. Dia wanita yang hebat, hanya dengan melihatnya hatiku bergetar dan saat itu juga aku bertekad untuk berubah menjadi lebih baik.
"Bisma.."
Lamunanku buyar saat suara lirih Anisa memanggil namaku. "Kamu sudah sadar? aku disini." Tanganku terlepas dari kepalanya saat Anisa berusaha untuk bangun dari posisi berbaringnya. Aku membantunya untuk duduk bersandar pada kepala ranjang setelah sebelumnya kuberikan ganjalan bantal agar punggungnya tidak sakit. 

Author POV
"Sebenarnya siapa perempuan itu?" Anisa menggigit bibir bawahnya gugup. Sebenarnya dia takut untuk bertanya pada Bisma, namun rasa ingin tahu Anisa mengalahkan rasa takutnya.
Bisma tersenyum lirih. "Namanya Sashi. Perempuan masa laluku,"
Anisa mengangkat kedua alisnya menunggu Bisma melanjutkan kata-katanya.
"Dia mencampakkanku setelah dia berhasil memeras rekening tabunganku. Sashi selingkuh dengan laki-laki yang bahkan lebih pantas disebut ayahnya. Saat itu aku sangat terpukul, merasa bodoh sekaligus bersalah pada orang tuaku. Dulu, keluargaku menentang hubungan kami. Tapi aku tidak pernah menggubrisnya. Hingga peristiwa saat perselingkuhan antara Sashi dan om-om itu kuketahui. Akhirnya aku memutuskan pergi dan akhirnya bertemu kamu disini."
Anisa tidak menyangka bahwa Bisma sangat minim kisah percintaan, tak jauh beda darinya. "Maaf.."
Bisma menggeleng. "Kamu gak salah, Aku yang salah. Maaf ya.." Anisa mengangguk lalu memeluk Bisma. Menangis sepuasnya.
---o0o---
"Sudah baikan?" Anisa mengangguk lemah. Lalu membaringkan tubuhnya dibantu Bisma. "Aku buatkan bubur ya. kamu jangan kemana-mana."
Anisa menahan lengan Bisma lalu menggeleng. "Nggak usah, kamu berangkat kerja aja. aku gak apa-apa."
"Gak apa-apa gimana? kamu dalam kondisi begitu. kamu lagi sakit Nis. atau kamu mau ke dokter?" Anisa menggeleng cepat. "Aku beri dua pilihan. Aku yang jagain kamu atau kita ke rumah sakit?"
"Aku mau kamu kerja tapi aku gak mau kedokter. aku mau dirumah aja."
Bisma menghela napas lelah. "Kamu boleh gak kedokter. tapi, aku akan tetap disini." Bisma duduk dibibir ranjang sedangkan Anisa cemberut mendengar nada bicara bisma yang lembut namun tegas, tidak bisa dibantah.
"Terserah!"
Anisa membalikan tubuhnya membelakangi Bisma. Anisa tahu kalau sikapnya ini salah, tapi ia sudah terlanjur kesal pada Bisma. Bisma mendekatkan mulutnya pada telinga Anisa yang masih terbalut hijab polos berwarna biru langit. "Gak sopan sekali pada suami. kalau Umi tahu anak perempuannya seperti ini bagaimana yaa..?"
Anisa membelakkan matanya. Buru-buru dia berbalik menghadap Bisma dengan wajah tertekuk. "Kenapa mengancam terus?!"
Bisma terkekeh mendengar nada ketus yang keluar dari mulut Anisa. "Tuh kan, nada suaranya ko tinggi? Kalau gak diancam pasti gak akan nurut apa kata aku."
"Maaf.. tapi, aa..akuu.. aku nurut ko'. memangnya kapan aku gak nurut?"
"Kali ini kamu gak nurut sama aku." Bisma tersenyum dalam hati. "Aku mau kita ke dokter!"
"Tapi aku gak mau."
"kenapa? kamu takut disuntik? gak akan disuntik ko' hanya diperiksa," Anisa menggeleng. "Aku itu khawatir sama kamu. Aku takut kamu kenapa-napa. wajah kamu pucat begitu, aku gak tega.."
Dan terjadilah tawar menawar antara Bisma dan Anisa. Setelah dibujuk oleh Bisma bahwa mereka akan makan bersama Umi dan Abi serta para santriwati di pesantren nanti malam, Anisa akhirnya setuju pergi ke dokter. 

Bersambung..

Selasa, 07 Mei 2019

Halalkan Aku Untukmu | DUA | MANIS


MANIS
"Tunggu.." Aku berhenti melangkah menuju pintu apartemen, lalu membalikkan tubuhku dan mendapati Anisa yang memakai gamis bercorak bunga kecil dengan jilbab senada.
"Ada apa?" Aku tertegun saat Anisa menyentuh tangan kananku lalu menciumnya.
"Hati-hati." Anisa tersenyum membuatku mau tidak mau membalas senyum malaikat itu.
Senyumnya pudar dan digantikan dengan pandangan gusar. Aku mengerutkan dahi. "Kamu kenapa? sakit?"
Anisa menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya. "Aa..aku.. boleh ke pesantren nggak?" Ia menunduk takut, tak berani menatapku.
Aku tersenyum lalu mengangkat dagunya agar menatapku. "Tentu saja boleh"
Ia mengerjap-ngerjap lucu dengan mulut sedikit terbuka, membuatku terkekeh. Tak tahan melihat wajahnya yang menggemaskan, aku mencubit kedua pipinya membuatnya mengaduh. "Sungguh?"
Aku mengangguk mantap. Terpancar binar bahagia dari matanya. Aku hampir terhuyung jatuh saat tiba-tiba Anisa memelukku.
Jantungku bekerja dengan cepat, darahku berdesir seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Seandainya saja hari ini tidak ada jadwal meeting dengan pak Wiryo, Aku pasti tidak akan keluar dari apartemen dan menghabiskan waktu bersama Anisa berdua.
Aku baru saja ingin membalas pelukan hangat ini tapi Anisa sudah melepaskan pelukannya. "Maaf, Aku lancang. tt.. tapi kata Umi, kalau meluk suami itu boleh dan dapat pahala." Anisa menunduk.
Kenapa dia minta maaf? justru aku sangat senang jika dipeluk olehnya. Bahkan seumur hidupku, Aku tidak akan keberatan sama sekali jika dipeluk olehnya. "Tidak perlu minta maaf dan tidak perlu sungkan untuk meminta sesuatu."
Anisa mendongkak menatapku lalu tersenyum tipis. "Terimakasih. Yasudah memang kamu gak ke kantor? sudah jam 8,"
Aku mengangguk lalu mencium keningnya sekilas. "Mencium istri juga dapat pahala."
---o0o---
Bagaimana aku bisa fokus bekerja jika yang ada dikepalaku hanya Anisa? bayangan saat pipinya bersemu merah dengan senyum malu-malunya saat aku mencium keningnya. Ahh.. aku tak sabar ingin bertemu dengannya. Tapi sekarang masih pukul 12 siang. Aku tersenyum mengingat sikapnya yang perhatian padaku. Saat ia menyiapkan sarapan, baju yang akan kugunakan, sampai ia mencium tanganku. Tidak salah aku memilih Anisa sebagai pendampingku. Betapa beruntungnya aku.
"Ciee.. penganten baru.. senyum-senyum aje," Aku menimpuk sahabatku dengan bantal sofa yang berada di ruanganku. Seenaknya saja dia menghancurkan khayalanku. "Sedang mengenang semalam ya.."
Aku melotot menatap sahabatku yang sedang mengedip-ngedipkan mata layaknya orang yang sedang cacingan dengan wajah dibuat malu-malu.
"Hahaha.. penganten barunya ngambek.."
"Sok tau!"
"Jangan-jangan gagal lagi, jiahaha.."
Aku mencebik kesal menatap sahabatku dari kecil yang masih tertawa sambil meledekku. Silahkan saja puas-puasin menertawakanku. Aku berani jamin dia akan menyesal karena meledekku. Sahabat macam apa dia, menyebalkan.
"Uuuh.. jangan ngambek dong, masa penganten baru ngambekk.."
Aku menepis tangannya yang mencubit pipiku. Dasar Irsyad.. Aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan yang menumpuk diatas meja. Irsyad masih asik dengan gelak tawanya sambil terus meledekku.
Pintu ruanganku terbuka. "Maaf pak, ada yang ingin bertemu." Irsyad langsung menghentikan tawanya.
"Siapa?"
"Ibu Anisa." Langsung saja aku menyuruhnya mempersilahkan Anisa masuk. Kira-kira Anisa ngapain ingin bertemu denganku? bukannya dia mau ke pesantren? biarin deh, yang penting ketemu.
"Assalamu'alaikum.." Anisa membuka pintu ruanganku lalu berjalan kearahku. Aku dan Irsyad menjawab salamnya. Di tangannya ada tas yang berukuran sedang. Ia menaruh tas itu di atas meja yang berada di sudut ruangan yang tidak jauh dari mejaku. "Aku bawakan makan siang."
Hatiku menghangat mendengarnya. Sedangkan Irsyad sudah menghilang entah kemana, ternyata dia sangat mengerti aku. Aku tersenyum kepada Anisa yang menghampiriku lalu menarik pelan tanganku menuju sofa yang tadi diduduki Irsyad. "Terima kasih."
Anisa mengangguk lalu membuka kotak makan berwarna biru. Di dalamnya sudah ada nasi dan lauk pauk yang membuat perutku semakin lapar. "Tidak ada kata terima kasih dalam cinta."
Tadi dia bilang apa? Aku tidak salah dengar kan? Anisa mengucapkannya sangat pelan nyaris tak terdengar. "Tadi kamu bilang apa?"
Anisa gelagapan mendengar pertanyaanku. "Ah.. mm.. engg.. enggak.. aku gak bilang apa-apa."
"Gak apa-apa kali. kan sudah aku bilang, jangan sungkan-sungkan," Aku menepuk bahunya pelan. dan lagi lagi pipi itu bersemu lengkap dengan senyum malu-malunya. Anisa menunduk. "Sama suami sendiri masa malu."
Anisa semakin menunduk. Menggodanya memang sangat menyenangkan. Apalagi saat melihat tingkahnya yang malu-malu. "Mm.. yasudah, itu makanannya dimakan keburu dingin."
"Tenang saja, masakanmu selalu enak walaupun sudah dingin sekalipun, apalagi ditemani sama kamu." Anisa memalingkan wajahnya, mentupi pipinya yang bersemu.
---o0o---
Bersambung...

Senin, 06 Mei 2019

Halalkan Aku Untukmu | SATU | KEPUTUSAN


KEPUTUSAN

"Anisa bersedia Abi."
Kalimat itu telah merubah semuanya. Dari mulai kebiasaan sampai statusku sekarang. Aku bingung mengatakan bahwa ini kabar baik atau sebaliknya.
Pagi hari tadi aku resmi menjadi pendamping hidup laki-laki yang satu bulan lalu datang menghadap orang tuaku untuk meminangku. Kalimat Ijab qobul itu diucapkan dengan satu kali tarikan napas dan lantang. Aku memang tidak melihat secara langsung saat laki-laki yang kini sudah menjadi imamku itu mengucapkannya, tapi aku mendengar dengan jelas. Air mataku menetes saat mendengarnya.
Aku tidak menyangka, diusiaku yang masih terbilang muda, Aku sudah bukan lagi tanggung jawab Abi dan Umi. tapi suamiku, imamku, Bisma. Jujur aku sedikit ragu. Ragu jika Dia tidak bisa membimbingku pada jalan yang diridhaiNya.
"Saya akan berusaha menjadi imam yang baik untuk Anisa."
Ucapan itu berputar-putar dikepalaku seperti kaset rusak yang selalu aku 'amin' kan. Aku berharap seperti itu.
"Anisa, Umi dan Abi pulang ya.. kamu harus patuh dan hormat kepada suamimu seperti kamu patuh dan hormat kepada Abi dan Umi." Aku mengangguk patuh lalu memeluk Umi.
Umi, sosok wanita yang hangat, selalu memberikan kasih dan sayangnya padaku dan Abi. Aku ingin seperti Umi yang selalu berada disamping Abi dalam kondisi apapun, selalu menjagaku dan merawatku sampai aku sebesar ini. "Anisa sayang Umi." Air mataku menetes tapi buru-buru kuhapus. Aku melepaskan pelukanku pada Umi lalu beralih pada Abi.
"Gadis kecil Abi sekarang sudah dewasa. sudah memiliki kewajiban sebagai seorang istri. Jadilah istri yang baik Anisa." Abi mencium puncak kepalaku seperti biasa.
Aku memeluk Abi sebentar. "Terima kasih Umi dan Abi yang sudah merawat, menjaga, dan membimbing Anisa selama ini. Anisa tidak bisa membalas segala sesuatu yang telah Umi dan Abi berikan kepada Anisa."
Air mataku tumpah tanpa bisa dicegah. Entah sudah seperti apa kacaunya penampilanku saat ini. Aku merasa ada yang meremas bahu kananku pelan, memberikanku ketenangan, Bisma.
"Kamu hanya perlu menjadi wanita yang kuat, sabar, dan selalu berbuat baik kepada semua orang disekitarmu. itu sudah lebih dari cukup."
---o0o---
Orang tuaku sudah pulang. Tinggalah aku dan pria yang kini masih mengenakan baju pengantin kami. Kami berjalan memasuki kamar yang sudah dihias sedemikian rupa. Aku memilih untuk melepaskan segala macam make-up dan pernak-pernik yang melekat ditubuhku maupun kepalaku yang masih tertutup hijab. Terdengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi. Sudah bisa dipastikan kalau didalamnya ada seseorang, Bisma.
---o0o---
"Bisma, bangun.. shalat subuh dulu." Sungguh, aku bingung memanggilnya apa. Walaupun dia tidak keberatan sama sekali jika aku memanggilnya langsung dengan nama. Tapi aku berasa tidak sopan memanggilnya dengan nama tanpa embel-embel lainnya.
Setelah Ia bangun, kami melaksanakan kewajiban kami sebagai muslim. ini pengalaman pertamaku shalat berjamaah bersama suamiku.
---o0o---

bersambung..